Kamis, November 13, 2008

Fenomena Busana Muslimah

Nggak bisa dipungkiri kalo perkembangan teknologi ngaruh banget dalam kemajuan kehidupan manusia. Melalui variasi teknologi yang semakin canggih, manusia bisa dengan mudah menjangkau informasi dari berbagai wilayah yang berbeda dalam waktu yang relatif singkat. Informasi apapun gampang nyebar dengan fasilitas yang serba cepat ini, salah satu contohnya tuh informasi busana. Ketika hari ini pusat fashion di luar negeri menggelar show koleksi terbarunya, maka di saat yang sama atau selang beberapa menit saja, masyarakat Indonesia udah ada yang mengenakannya. Meskipun informasi mode baru yang berkembang di luar mayoritas nggak sesuai sama kewajiban menutup aurat di negeri-negeri muslim, namun perkembangan mode ini terus dipaksakan, sehingga pola busana wanita-wanita di negeri muslim semakin lama semakin bergeser. Awalnya muslimah Indonesia memakai busana lengkap (jilbab dan kerudung), namun kemudian mereka mulai memodifikasi jilbab menjadi agak ketat, memainkan kerudung dengan pola yang sering diikat, dan lama kelamaan berpakaian ekstra ketat hingga tak ada bedanya antara menutup aurat dengan membungkus aurat. Parahnya lagi, udah nggak pakai kerudung, pakai baju adiknya lagi! Baju ketat kayak gitu nggak diperkenankan dalam Islam, contoh dalilnya : “Dua golongan termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihat mereka, (satu kaum penguasa) yang membawa cambuk (besar) seperti ekor lembu, dengannya mereka memukul manusia, dan kaum wanita yang berpakaian tetapi telanjang, menggoda dan melenggok-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapati aromanya, padahal aromanya boleh didapat dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (Riwayat Muslim)

Sebagai negeri muslim yang jauh dari pusat Islam (Madinah, pada masa Rasulullah SAW.), mayoritas umat Islam di negeri ini memiliki pemahaman yang kurang di bidang bahasa Arab. Kenyataan ini menjadikan sumber referensi Islam (Al Quran dan As Sunnah) yang bahasanya berbeda dengan bahasa kita (bahasa Indonesia) jadi sulit dipahami. Sebagai bukti kelemahan bahasa ini, ayat yang berkaitan dengan jilbab (Al Ahzab : 59) dan kerudung (An Nur : 31) menjadi salah satu contoh yang paling sering bikin kesalahpahaman. Misalnya aja pengertian jilbab. Nggak sedikit orang yang menyangka kalo jilbab adalah kerudung. Padahal bukan kayak gitu, jilbab bukanlah kerudung. Kerudung dalam Al Quran surat An Nur ayat 31 disebut dengan khimar (Jamaknya khumur). Sedangkan jilbab yang terdapat dalam surat Al Ahzab ayat 59, sebenarnya tuh baju longgar yang menutupi seluruh aurat wanita.

Kesalahan lain yang sering dijumpai adalah anggapan bahwa busana muslimah itu yang penting udah menutup aurat, sedangkan mode bajunya dianggap bukan masalah, padahal Islam telah menetapkan syarat-syarat bagi busana muslimah dalam kehidupan umum. Menutup aurat merupakan salah satu syarat, bukan satu-satunya syarat. Syarat lain yang mengatur busana dalam kehidupan umum adalah nggak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan dan mengeksploitasi lekuk tubuh. Semua syarat tersebut harus dipenuhi agar seorang muslimah dapat dikatakan telah berbusana secara sempurna. Karena itu kesalahpahaman tersebut perlu diluruskan agar kita dapat kembali ke dalam ajaran Islam secara murni serta bebas dari pengaruh lingkungan, pergaulan, atau adat-istiadat di tengah masyarakat sekuler sekarang.

Kalo ditinjau lebih jauh, permasalahannya bukan karena semua orang nggak mengerti tentang aturan syara’ ini, melainkan ada orang yang sudah paham tapi nggak mengaplikasikannya. Sebagian dari mereka meneruskan kebisaaan-kebisaaan yang udah berlaku di Indonesia, bahkan cenderung mengikuti pergeseran pola busana muslimah yang terjadi, dan parahnya sebagian lagi masih berada dalam kebimbangan antara menjalankan perintah sesuai yang diwajibkan atau tidak. Fenomena ini dapat dipicu oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Faktor-faktor Internal

a. Belum dapat hidayah
Jika ini yang dipermasalahkan, maka patut dipertanyakan, “Bagaimana seseorang bisa mengetahui bahwa dia sudah mendapat hidayah atau belum?” Jawabannya ada dua kemungkinan. Pertama, ia mengetahui rahasia Lauhul Mahfudz yang artinya ia juga tahu bentuk hukuman yang akan diterimanya sebelum ia berjilbab. Kedua, kemungkinan ada makhluk lain yang mengabarkannya, baik itu malaikat, manusia ataupun setan.
Untuk alasan seperti ini, yang perlu dipahamkan adalah hakikat dari hidayah. Hidayah terdiri dari dua jenis, yaitu hidayah dilalah dan hidayah taufiq.
Hidayah dilalah adalah hidayah yang masih butuh usaha dari manusia untuk bisa melaksanakannya. Allah dengan perantara RasulNya udah ngasih pilihan berupa petunjuk kebenaran dan larangan mengembangkan kebathilan, dan manusia punya kebebasan menggunakan akalnya buat milih salah satu di antaranya beserta konsekuensinya. Sedangkan hidayah taufiq adalah petunjuk yang mutlak berasal dari Allah semata. Wujudnya berupa peneguhan dalam hati, penjagaan agar tetap teguh dalam kebenaran, pendorong pada kecintaan iman, dan sebagainya. (Abdul Hamid Al Bilali)

b. Belum mantap
Hal ini agaknya lebih tepat digolongkan pada masalah menuruti hawa nafsu pribadi yang cenderung mengizinkan diri buat menawar perintah wajib. Jika perintah itu berasal dari manusia, maka masih terbuka peluang untuk bernilai benar dan salah. Tapi jika perintah tersebut datang dari Allah, maka mustahil ada kesalahan, sehingga wajib hukumnya untuk dilaksanakan dalam kondisi apapun.

c. Belum dewasa
Ukuran dewasa menurut Islam adalah ketika seseorang akil baligh. Bagi wanita, perubahan ini cukup ditandai dengan datangnya haid. Maka ketika seorang muslimah sudah haid, ia sudah terkena semua kewajiban hukum Islam bagi muslimah, termasuk mengenai penutupan auratnya.

d. Belum punya jilbab
Dalam Islam, seseorang nggak dituntut untuk memiliki aneka busana. Baginda Rasul mencontohkan bahwa bajunya juga nggak terlalu banyak. Dahulu pada masa Rasulullah, ketika ayat mengenai jilbab turun, masyarakat dalam kondisi kurang sejahtera secara finansial. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah RA, bahwa Rasulullah SAW. berkata : “Rasulullah SAW. memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju sholat Ied, maka Ummu ‘Athiyah berkata, ‘Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.’ Maka Rasulullah SAW. manjawab : ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!’.” (Muttaaqun ‘alaihi) (Al Albani, 2001 : 82). Kejadian tersebut menunjukkan kalo Baginda Rasul sendiri nggak menoleransi alasan yang disampaikan umatnya ketika bertentangan dengan apa yang diwajibkan Allah.
Selain itu, bila dikaji lebih dalam, di zaman modern seperti ini, tidak punya jilbab adalah fenomena yang langka. Fakta di pasaran menunjukkan bahwa harga sepotong jilbab relatif lebih murah daripada sebangsa “Jeans”, “Lea”, “Lewis”, dan sebagainya. Hal ini jelas bahwa alasan finansial yang dikemukakan sebagai keterbatasan hanyalah dalih untuk menghindari pemakaian jilbab.

e. Nggak PD
Bisaanya wanita merasa nggak PD kalo ada yang kurang menarik dari dirinya. Misalnya aja saat dalam kondisi nggak wangi, wajah berjerawat dan berminyak, pakaian kedodoran dan nggak matching sama warna kulit, de el el. Kalo seorang wanita memakai jilbab-yang jelas-jelas bahan dan potongannya nggak mungkin mengeksploitasi bentuk tubuh-otomatis terlihat kedodoran donk? Tentu aja jauh dari tampilan seksi. Lalu pasti mereka akan berpikir, “Ntar kita nggak menarik donk?!” Menarik? Dinilai oleh siapa? Dalam parameter apa? Di mata Allah, para muslimah yang memakai jilbab tuh keren. Dan terbukti dari fakta yang ada, kemuliaan di mata Allah nggak pernah jadi kehinaan di mata manusia. Masa’ wanita yang menutup auratnya dengan sempurna malah jadi hina? Yang bener aja?! Justru sebaliknya, wanita yang mengumbar keseksian dan auratnya di depan umumlah yang nggak berharga, meskipun banyak manusia yang “menikmatinya.”
Kalo dipikir-pikir, bener juga kata Bang Napi. “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan.” Dengan mempertontonkan aurat di depan public, wanita itu secara otomatis telah memicu peningkatan angka kriminalitas. Banyak terjadi kasus pelecehan seksual bahkan pemerkosaan yang ujung-ujungnya merugikan wanita itu sendiri. Menutup aurat secara sempurna (dengan jilbab) akan meredam bahkan nggak nutup kemungkinan untuk meniadakan kasus-kasus kayak gitu.
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”, Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untukl dikenal, karena itu mereka tidak diganggu… ” (QS. Al Ahzab : 59)
Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.

2. Faktor-faktor Eksternal

a. Larangan orang tua atau suami
Perintah wali atau orang tua (bagi yang belum punya suami) dan perintah suami (bagi yang sudah menikah) wajib dilaksanakan selama nggak melanggar aturan Allah. Jika memang bertentangan, maka harus dijelaskan sampai mereka bisa menerima. Namun jika terus melarang, maka perintah Allah di atas segalanya, sebab ketika dihisab nanti, kita sendiri yang bakal memikul dosa yang udah kita perbuat, dan hal ini nggak bisa dibebankan pada orang lain.
b. Sulit dapat kerja
Fenomena ini memang sering terjadi. Why-mengapa? Karena pemegang perekonomian Indonesia mayoritas adalah orang-orang kapitalis nonmuslim. Mereka bisaa membuat aturan yang sesuai keyakinannya. Namun sebagai orang yang sehat dan berakal, bekerja bukan berarti harus berada di bawah naungan perusahaan seperti ini. Seorang muslimah dapat merintis wirausaha sendiri atau mencoba bekerja di perusahaan lain yang aturannya nggak kayak gitu.

c. Telat nikah
Cepat nggaknya menikah nggak ditentukan dari jilbab. Laki-laki beriman cenderung mencari istri yang menurutnya imannya bagus, dan kriteria terbesar yang dijadikan standard adalah berjilbab atau tidak. Bahkan di masyarakat, mereka yang berjilbab cenderung menikah dalam usia muda dibanding wanita karir (kantoran) yang rata-rata nggak berjilbab.

d. Jilbab bukan budaya Indonesia
Jilbab tuh perintah Allah bagi muslimah. Di manapun muslimah berada, perintah Allah tetap berlaku, sebab Allah adalah Tuhan semua tempat, bukan hanya daerah yang kebisaaan turun menurunnya berjilbab .
e. Tidak sesuai perkembangan mode
Jilbab merupakan salah satu bukti risalah Baginda Rasul yang terakhir. Berdasarkan fenomena kekinian, apa-apa yang serba baru atau muncul paling terkini diistilahkan dengan up to date, sedangkan yang terdahulu disebut out of date.
Dalam hal ini, busana yang menampakkan aurat udah ada sebelum kerasulan Muhammad SAW. atau dengan kata lain, mode kayak gitu udah ada pada masa Jahiliyah. Jadi, model mengumbar auratlah yang sebenarnya out of date.

Dengan adanya faktor-faktor yang cenderung menghalangi muslimah untuk berjilbab, maka bagi para muslimah yang masih ragu hendaklah mulai menata diri dengan tahapan sebagai berikut :

1. Perkataan Allah adalah benar
Kewajiban mengenakan jilbab dan kerudung di dasarkan pada perintah Allah, yaitu :
“Wahai Nabi katakanlah kepada isri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya…” (QS. Al Ahzab : 59)
“…Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…” (QS. An Nur : 31)
sehingga nggak ada kewenangan bagi manusia untuk menangguhkannya.

2. Hilangkan keraguan, mantapkan keimanan
Keraguan adalah gangguan dari setan yang bermaksud membujuk manusia agar tidak melakukan kebaikan. Keraguan ini sifatnya sementara, dan bisaanya hanya di awal-awal waktu (masa transisi). Niat yang ikhlas dan keyakinan bahwa maut datang setiap waktu tanpa diundang merupakan salah satu hal yang akan menghapus keraguan.

3. Selektif terhadap opini
Opini yang muncul bagi orang-orang berjilbab cenderung negatif. Opini ini bisa bersumber dari orang-orang yang kurang berpengetahuan . Opini itu bisaanya disampaikan dengan bumbu yang nggak sedap sesuai dengan kebencian pengopini. Di sinilah perlunya penyaringan opini. Jangan sampai seorang muslimah terjebak opini yang menghalangi pelaksanaan perintah Allah.

4. Pahami benar hakikat jilbab dengan melakukan pengkajian
Kebanggaan mengenakan jilbab bukan hanya ada pada pemakai, tetapi juga pada pihak lain sebagaimana ungkapan berikut :
“Bagiku, jilbab adalah piagam kemenangan gilang gemilang, kemenangan terbesar bagi seorang perempuan Islam atas dirinya, atas imannya, dan atas dunia” (Hirata, Andrea : 247)

Di sinilah kaum muslimah diuji keimanan dan ketaqwaannya. Berkaitan dengan hal itu, Rasulullah SAW. bersabda: “Islam bermula dalam keadaan asing, dan Islam akan menjadi sesuatu yang asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” (Shahih Muslim). Nah dalam kondisi kayak gini, seharusnya kita tidak boleh larut, kita harus bersabar dalam memegang teguh Islam walaupun hal itu berat seperti memegang tiara api. InsyaAllah dengan keadaan yang berat seperti sekarang, pahala yang kita dapat juga berlipat ganda.
Wallahu a’lam.

Daftar Rujukan
Munica, Ririn. 2008. Fenomena Berjilbab: Faktor Iman atau Arus Budaya. Makalah disampaikan pada Seminar Kemuslimahan, Forum Ukhuwah dan Studi Islam (FUSI) Teknik Universitas Negeri Malang, Malang, 8 November.
Rahmah, Annisa. 2008. Jilbab dan Khimar Busana Muslimah dalam Kehidupan Umum. Makalah disampaikan pada Seminar Kemuslimahan, Forum Ukhuwah dan Studi Islam (FUSI) Teknik Universitas Negeri Malang, Malang, 8 November.

5 komentar:

novi471 mengatakan...

salam kenal. gimana menurut kamu tentang wanita yang dilarang berjilbab di sebuah perusahaan?

maiby mengatakan...

Assalamualaikum
eh bagai mana caranya mengajak teman atau pamily supaya mereka mau mengenakan jilbab.
trimakasih .
salam perkenalan hampir aja lupa .

novi471 mengatakan...

makasih naskahku da dibaca. oh iya jangan panggil pak dong, kok kayaknya dah tua. Kalo sempat mampir lagi ya. Kebetulan ada naskahku di rubrikasi novel yang perlu mendapat masukan. Rencananya aku hendak menerbitkan buku tentang novel perjalanan. Dan baru beberapa waktu lalu naskahku sudah tak masukkan ke penerbit, sekarang tinggal tunggu kabarnya saja. Nah kedua naskahku di rubrik novel kuambil dari sub bab bagian pertama dan pertengahan saja. Yang pertama mengenai prolognya, kedua tentang masalah Tuhan. Sekiranya ada waktu mohon masukkannya. Thanks sebelumnya. Wassalam.

novi471 mengatakan...

panggil aja Novi karena memang itu nama saya. Oh iya thanks ya naskahku dah dibaca. Naskah itu cuma bagian dari sub bab novelku, ya doakan aja smoga bisa diterima penerbit. Oh iya kemarin kan kamu ketawa-ketawa pas baca wawancara imaginer dengan Amrozi . Sebelumnya saya juga sempat bikin wawancara imaginer dengan iblis. Kamu bisa lihat di bulan juli atau rubrik religi di bagian bawah sendiri. Mampir ya Nis...

novi471 mengatakan...

Kalo mau masukkan naskah ke penerbit gampang aja kok. Tapi usahakan pilih penerbit yang bonafit atau setidaknya pernah menerbitkan banyak-banyak karya. Karena sekarang ini banyak penerbit yang nakal, mengambil naskah orang sembarang. Yang kedua, kalau kamu mau mengirim naskah penerbit sesuaikan isi naskahmu dengan visi dan misi penerbit. Untuk mengirim naskah ke penerbit kamu bisa mengirim hardcopy atau softcopy (kalo bisa sih hardcopy saja). Terserah kamu. Kamu bisa mengirimnya lewat pos atau langsung. Kalau langsung usahakan untuk meminta tanda terimanya. Biasanya kamu harus menunggu naskah di seleksi terlebih dahulu. Kadang bisa sampai sebulan bahkan dua bulan atau lebih. Makanya, kalau mengirim naskah usahakan setiap bulan dicek ke penerbit, hal ini untuk mengetahui respon dan kedekatan kamu dengan penerbit. Aku sih ini baru pertama. Kebetulan aku masukkan naskahku di JP Book. Kebetulan di sana temanku kerja di bagian editornya. Tapi itu pun belum menjamin. Buktinya sampai sekarang belum dicetak. Tapi syukurlah kemarin mulai ada tanggapan. Tinggal menunggu waktu saja. Kalau emang ga terbit, mungkin akan kucetak sendiri. Ini lebih baik ketimbang diserahkan ke penerbit. Kalo untuk penerbit di Jawa Timur memang masih belum banyak, tidak seperti di Jawa Tengah. Karena memang minat banyak masyarakat di sini sangat rendah. Makanya, sebenarnya lebih enak terbit independence. Cuma sampai sekarang aku belum ada modal, untuk sementara naskahku masih tak pasrahkan ke penerbit. Gagal satu, maka ke penerbit lainnya. Mungkin suatu hari nanti aku pengin (dan juga kamu sebaiknya) menerbitkan sendiri. Itu lebih baik, karena kita bisa menghargai hasil karya kita sendiri.