Senin, Maret 16, 2009

Menikah Tanpa Pacaran


Menikah tanpa pacaran? Mungkin nggak sih? Apakah tanpa pacaran dapat mengenal calon pasangan? Apakah ada ada cara-cara yang sah dalam Islam untuk mengenal calon pasangan hidup? Apakah cukup penting mengenal isi pikiran calon pasangan kita? Apakah tidak cukup dengan hanya mengetahui cantik atau gantengnya dan kemudian apakah isi kantongnya?

Apa mungkin?

Pertanyaan tersebut muncul ketika sepasang muda-mudi memutuskan untuk menikah tanpa pacaran terlebih dahulu. Segera ketika berita lamaran merebak di kalangan keluarga, beberapa pihak bertanya-tanya kepada orangtua mereka. Kapan kenalnya? Di mana? Bagaimana? Kok bisa memutuskan menerima lamaran jika belum kenal?

Kenal adalah salah satu tahapan ukhuwah islamiyah, oleh karena itu tak heran jika orang banyak mempertanyakan keputusan menerima lamaran sebelum “kenal”. Pepatah mengatakan: tak kenal maka tak sayang.

Apakah sebelum menikah seseorang harus saling kenal? Jawabannya: ya, harus, meskipun seberapa “kenal”nya dan apa yang perlu dikenal masih bisa didiskusikan. Jangankan dalam urusan jodoh, memilih temanpun perlu mengenal lebih dahulu sebelum cukup percaya untuk pergi bersama.

Kecocokan harus ditimbang dengan kadar tertentu dan bahkan untuk aspek latar belakang sosial ekonomi dan pendidikan yang diistilahkan dengan sekufu. Tapi yang paling penting di antara itu semua adalah masalah kesamaan pandangan hidup, aqidah dan akhlak, misalnya.

Sayangnya, dalam kebiasaan zaman sekarang, yang namanya ajang saling kenal antara dua orang anak muda yang akan menikah adalah lewat hubungan palsu yang namanya pacaran. Mengapa palsu? Sebab seringkali ketika berpacaran kedua insan tersebut tidak memperlihatkan sifat-sifat asli mereka, malah cenderung konformistis, serba setuju dengan apa kata pasangannya. Walhasil “perkenalan”nya menjadi tidak sebagaimana aslinya. Apalagi ketika diwarnai perasaan kasmaran atau jatuh cinta. Seseorang yang sedang kasmaran cenderung berubah dari kebiasaan aslinya. Seorang pendiam bisa tiba-tiba terlihat periang sedangkan seorang yang periang tampak malu-malu kucing.

Kenapa sih mesti pacaran?

Pacaran dalam istilah sekarang adalah: sebuah bentuk hubungan antara sepasang anak manusia lain jenis yang mempunyai ketertarikan hubungan sex.



Pacaran dengan aktivitas pergaulan fisik tanpa norma Islam (sejak pegang-pegangan tangan sampai ini itu dan seterusnya) bukan hanya tidak perlu, bahkan juga tidak boleh atau haram dalam Islam. Sebab Islam melarang zina dengan arti sejak zina hati (melamun, bermimpi dengan sengaja, melihat foto de el el tanpa pertemuan fisik), zina mata (melihat langsung, berpandang-pandangan dan sebagainya) sampai zina badan (dari pegangan tangan sampai hubungan sex sebenarnya). Meskipun untuk setiap perbuatan tersebut jenis dosanya berbeda, tetapi tetap saja semua adalah dosa.

Di sinilah letaknya masalah pacaran.

Jika saling mengenal merupakan sesuatu yang penting, itu tidak berarti pacaran menjadi boleh. Bahkan pacaran dengan sejumlah bahaya dosa jelas merupakan perbuatan yang harus dihindari, sebab hal itu mengandung ancaman dosa besar.

Lalu bagaimana cara saling mengenal yang diperbolehkan?

Zaman sebelum ada teknologi canggih, para pendahulu kita biasa mengirim utusan ke pihak calon mempelai. Pihak pria mengirim seorang wanita terpercaya untuk “melihat” si wanita yang akan dilamar dan sebaliknya pihak wanita juga mengirim pria terpercaya untuk menyelidiki pria yang akan melamarnya. Untuk batas tertentu keduanya dibenarkan untuk saling melihat fisik. Batasannya adalah sejauh batasan aurat yang boleh dilihat umum (semua tertutup kecuali muka dan telapak tangan). Jika ingin melihat lebih jauh, harus mengirim utusan seperti di atas (wanita melihat wanita dan pria melihat pria). Itu baru sebatas melihat secara fisik.

Sebagaimana sudah dituliskan tadi, aspek fisik bukan hal terpenting untuk dikenal. Aqidah , akhlak, dan fikroh jauh lebih penting, sebab itu semua adalah hal-hal yang bersifat lebih menetap dan lebih berpengaruh dalam keseharian seseorang.

Untuk mengenal dan memahami isi pikiran, aqidah, dan akhlak haruslah dengan cara peninjauan yang berbeda dengan mengenal hal-hal fisik. Untuk ini, selain mengenal langsung, juga lewat referensi.

Misalnya dengan mengirim utusan untuk menyelidiki isi pikiran tersebut, atau dengan cara bertanya secara langsung.

Mengapakah tes tentang isi pikiran, aqidah, dan akhlak jauh lebih penting daripada perkenalan fisik?

Jawabannya tergantung dari seberapa dalam seseorang yang ingin berkenalan tersebut memandang hidup ini. Jika ada seorang yang sehari-harinya punya ideologi: “emangnya gue pikirin”, yaitu ideologi cuek dan tak peduli makna hidup, dengan keseharian hanya memikirkan dandan (bersolek), kongkow-kongkow (kumpul-kumpul tak bermakna dengan teman-teman) dan hura-hura (semua aktivitas yang berhubungan dengan kesenangan duniawi yang meriah), maka ketika ia ingin berteman dan mungkin juga ketika ingin menikah ia akan mencari teman atau pasangan hidup yang sejenis.

Namun jika ada seseorang yang dengan serius menganggap bahwa hidup ini adalah untuk beribadah, beramal manfaat dan menggapai akhirat, seseorang yang memahami bahwa masih ada kehidupan lagi setelah di dunia yaitu kampung akhirat yang kekal, maka ia akan sangat peduli untuk berteman apalagi berpasangan hidup dengan yang sejenis. Karena pada dasarnya setiap orang ingin berdekatan dengan yang “sejenis”, se-aliran, se-pandangan. Apapun pandangan hidup yang dianutnya. Dan hal-hal seperti ini tak mungkin dikenal hanya dengan sekali lihat penampilan fisik. Penampilan fisik mungkin menipu. Seorang yang berkacamata tebal dan berfoto serius mungkin saja ternyata tukang banyol yang tak pernah berpikir panjang. Sementara mungkin saja seorang dengan pakaian tak ketinggalan gaul (tapi masih sopan) dan percakapan yang tak kuno ternyata lebih mampu lagi bicara panjang dan serius tentang makna hidup dan cita-cita akhirat. Sebab seorang yang ingin menggapai akhirat tak mesti meninggalkan dunia sama sekali. Akhirat itu nomor satu, dunia hanya jangan lupa. Idealnya kan seimbang dunia akhirat???

Orang yang beramal cerdas adalah orang yang mampu memanfaatkan hidup di dunia untuk optimalisasi pencapaian akhirat, yaitu dengan cara bergaul luas dan berdakwah luas.

Bagi yang mementingkan urusan materi dan “kulit-kulit luar” lainnya, maka perkenalan fisik sangat penting, urusan isi pikiran cukup yang dangkal saja. Sebatas apa aliran musiknya, hardrock-kah atau slow machine? Sedangkan bagi yang berpikir mendalam dan cemerlang, maka isi pikiran dan cita-cita hidup adalah lebih penting daripada fisik.

Sebab, apa-apa yang sebatas kedalaman kulit dapat berganti dengan cepat, bahkan dengan mudah sirna. Cantik? Maaf ya, jika terlalu banyak ber-make-up maka pada usia 38an tahun sudah butuh face-lift. Jika salah make-up, muka bisa menghitam dan butuh jutaan rupiah untuk memperbaiki. Apalagi jika (na’udzubillah) kecelakaan, rusaklah semua. Jika kaya raya adalah ukuran tera-nya, maka credit crunch tempo hari sudah terbukti ampuh memiskinkan sejumlah orang kaya. Yang benar-benar ulet akan bangkit setahun dua tahun lagi, tapi yang tak pandai akan tetap bangkrut. Namun apa yang dihargai dari budi pekerti dan sikap perilaku tak akan terpengaruh credit crunch maupun usia lanjut. Sedangkan yang beraqidah salimah dan akhlak karimah akan tetap mendampingi kita insyaAllah sampai di SurgaNya. Amiin.

Tidak ada komentar: